Kamis, 08 Desember 2016

KISAH KARNA, TETAP SEMANGAT WALAUPUN TERBUANG

Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura menikah dengan Dewi Banondari. Prabu Kuntiboja mempunyai 5 orang anak yaitu Dewi Sruta, Basudewa, Dewi Kunti (Prita), Arya Prabu Rukma dan Ugrasena. Karena ingin sangat memperhatikan pendidikan, maka Kuntiboja mengangkat Bagawan Druwasa, seorang brahmana sakti sebagai tutor anak-anaknya. Druwasa sangat pandai dan rajin dan kelima muridnya juga sangat ingin belajar, akan tetapi yang paling cerdas dan menyerap ilmu Druwasa yang paling banyak adalah Dewi Kunti yang waktu itu masih berumur 15 tahun.
Sedemikian rajin-nya Dewi Kunti menuntut ilmu sehingga gurunya kewalahan. Druwasa lalu berkata : “Kunti, aku harus meluangkan waktu juga untuk mengajar saudara-saudaramu yang lain, tidak bisa terfokus kepada dirimu”. Rengek Kunti : “Tapi Guru, aku ingin belajar terus, dan bukankah kewajiban Guru untuk memenuhi permintaan ilmu dari muridnya ?” Pusing mendengar rengekan Kunti akhirnya Druwasa mengajarkan ajian Adityahredaya, ajian untuk mendatangkan dewa, sehingga dengan mendatangkan dewa, Kunti dapat belajar dari dewa tanpa menunggu/mengganggu gurunya. Sudah tentu Druwasa memesan Kunti agar jangan sembarangan menggunakan mantera itu karena untuk mendatangkan dan menuntut ilmu dari dewa diperlukan waktu khusus.
Namun dasar bocah belum dewasa, walaupun rajin menuntut ilmu, Kunti mempunyai kebiasaan yang buruk juga, yaitu berlama-lama merendam diri di kolam permandian-nya. Kolam permandian anak raja dibangun dengan sangat indah, disusun sedemikian rupa, hingga sorot matahari dapat langsung masuk dan mengenai yang sedang mandi, dan sangat enak untuk bermalas-malasan. Suatu hari ketika sedang berendam Kunti menghapalkan mantera Adityahredaya, dan karena dalam keadaan tidur-tidur ayam dan merasakan enaknya sinar matahari pagi maka terlintas dalam benaknya tentang Batara Surya. Mantera itu sangat sakti dan terjadilah keadaan yang tidak diinginkan. Batara Surya datang ke kolam pemandian dan melihat tubuh telanjang dewi Kunti yang sangat indah dan seolah-olah bercahaya. Kunti sendiri sangat kaget, betapa tidak, ketampanan Batara Surya sangat menyilaukan-nya dan Kunti sendiri dalam keadaan telanjang.
Singkat cerita pertemuan Batara Surya dan Kunti ini menimbulkan anugerah yang berupa bayi dalam kandungan Kunti. Sudah tentu Prabu Kuntiboja marah luar biasa dan memanggil Resi Druwasa yang dituduhnya ceroboh, mengajarkan ilmu yang terlalu tinggi kepada anak remaja yang belum siap mental sehingga sekarang Kunti mengandung tanpa suami.
Dasar sakti, Druwasa tidak kehilangan akal, setelah bayi cukup besardalam kandungan, Druwasa mengeluarkan bayi dari telinga Kunti, agar tidak merusak keperawanan Kunti. Bayi itu diberi nama Karna (Telinga) atau Talingasmara dan juga karena putera Dewa Surya disebut juga dengan Suryaputra atau Suryatmaja. Begitu terlahir Karna sudah memiliki kesaktian karena oleh Batara Surya dibekali Anting Mustika dan Kotang (sejenis rompi atau kaos yang melekat kulit) Kaswargan yang menyebabkan Karna menjadi kebal.
Membesarkan bayi tersebut dalam istana tentu tidak mungkin, Druwasa lalu memasukkan bayi Karna kedalam kendaga dan menghanyutkan-nya kesungai. Kendaga ditemu oleh Adirata, seorang kusir kerajaan dari Hastinapura yang lalu membesarkan-nya.
Karna dibesarkan oleh Adirata yang tidak mempunyai anak dan setelah remaja sering dibawa ke istana Hastinapura untuk membantu ayahnya merawat kuda dan kereta. Karena semangatnya yang menyala-nyala dan kecerdasan-nya setelah merawat kuda, Karna meluangkan waktu menguping, ikut mendengarkan di sekolah tempat Durna dan Krepa menggembleng para Pandawa dan Kurawa. Walaupun hanya menguping dan berlatih sendiri karena cerdas dan rajin Karna mendapatkan ilmu yang menyamai Pandawa maupun Kurawa.
Alkisah, suatu waktu Durna mengadakan sayembara memanah diantara murid-muridnya. Kelompok Kurawa kalah dengan sangat menyedihkan, dan juara umum dipegang oleh Permadi (Harjuna). Pertandingan itu dilihat oleh Karna, dan melihat kemenangan Permadi, hatinya panas karena Karna merasa dapat melalukan hal yang sama. Segera Karna menghampiri dan menantang Permadi. Permadi menolak tantangan itu karena Sekolah itu adalah Sekolah Khusus Wangsa Bharata dan Karna tidak sepadan.
Mendengar penolakan Permadi, Suyudana si sulung Kurawa berkata : “Mulai saat ini Karna adalah saudaraku, saudara kita semua”. Maksud Suyudana tidak murni, dia mengangkat Karna sebagai saudara untuk mendapatkan sekutu yang piawai agar bisa menyaingi para Pandawa. Namun demikian Karna merasa berhutang budi dan berprasapa untuk membela Hastinapura sampai akhir hayatnya.
Masih banyak cerita lanjutan-nya yang akan ditayangkan pada waktu yang tepat tetapi moral of the story nya antara lain sbb.
1. Pengamalan ilmu harus dilakukan pada tempatnya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan
2. Menuntut ilmu jangan sampai dibatasi oleh derajat maupun keadaan orangtua. Walaupun dibesarkan oleh seorang kusir Karna tetap tidak patah semangat
3. “The enemy of my enemy is my friend”, kita melihat praktek seperti ini baru saja, dalam kisah Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat.
4. Sampai akhir hayatnya Karna tetap mengabdi kepada Hastinapura karena kesetiaan-nya terhadap prasapa yang diucapkan-nya walaupun maksud Suyudana waktu itu juga tidak murni
Bagaimana dengan saudara ?? Silahkan share, co pas bila dirasakan bermanfaat.

Padepokan Wijaya Kusuma Pratama, Pondok Pucung, 09122016.
Ki Suko Gambiro. #dalangasengyangsedangkumatisengnya#

1 komentar: